Aku jatuh pada setiap nyatamu. Ketika kita berada di minimarket dan kau dengan n...


Aku jatuh pada setiap nyatamu. Ketika kita berada di minimarket dan kau dengan naifnya, bingung memilih minuman apa yang hendak kau beli dari lemari pendingin itu—kopi atau Pocari, susu vanila atau Fanta. Kau bisa habiskan dua menitmu guna menimbang seolah itu adalah pilihan antara neraka atau suralaya. Sedang aku, di samping belikatmu, sambil menahan senyum, merekam fenomena itu dengan ponsel dan membagikannya pada teman-teman terdekat. “Filsuf amatiran sedang menentukan konsekuensi dari memilih merk minuman,” tulisku sebagai caption.

Atau, ketika kau sibuk menelisik lemari-lemari di Gramedia satu demi satu dan dengan kamus besar bahasa jenakamu, judul-judul buku yang monoton itu bisa jadi sangat lucu di telingaku. Suatu kali, kau dengan arogannya mencetuskan bahwa Sapardi sudah berdusta besar pada kita. “Tidak pernah ada hujan di bulan Juni,” katamu dengan logat yang sok-sok menirukan Sujiwo Tejo. “Kemarau, Na. Selalu cuma ada kemarau di ujung-ujungnya.” Pernah pula suatu kali kita menonton sebuah film tentang pertempuran antar manusia dan makhluk luar angkasa. Selesainya, kau justru mengoceh perihal luasnya jagat raya dan kisah-kisah komik Marvel yang asing di telingaku ketika mulutku sedang sibuk-sibuknya mengunyah sepotong Big Mac. “Andai wijen-wijen tersebut adalah sekumpulan planet, kau pasti sudah jadi Galactus paling rakus yang pernah ada,” ucapmu menutup maklumat panjangmu hari itu.

Suatu sore, sepulang dari Batavia—begitu caramu menyebut Kota Tua—kau entah mengapa berlimpah suka cita ketika setiap kali mata kita berjumpa. Katamu, hari itu di sanding patung Hermes, aku ini serupa Andromeda. Aku tanya, siapa gerangan dia. Kau justru tertawa sambil berkata, “Cuma potongan kisah Yunani lama.” Sungguh, aku telah jatuh pada setiap nyatamu. Barangkali, aku terlalu dekat. Barangkali pula, kasih sayang yang kulimpahkan pada ragamu amatlah pekat. Namun, jika memang benar ucap Chairil bahwa hidup ialah perihal menunda kekalahan, maka aku ingin berakhir kalah di pelupuk rengkuhmu.

by: @jangteroesir
#poetry #photography #phosphenous



Source

20 komentar:

  1. Tulisan ini, entah hanya kebetulan atau semacam lelucon dari Tuhan, kembali meyakinkan saya bahwa cinta selalu bisa menagkap fragmen-fragmen istimewa yang bagi orang lain dinilai biasa-biasa saja. ❤️ Author, thanks ya. Kamu bikin saya lebih memahami diri dan saya sendiri tanpa perlu mengatur jadwal ketemuan dengan psikolog. Tabungan saya akan gemuk dalam waktu dekat. ๐ŸŽถ

    BalasHapus
  2. Id oa nya apaaa plis kasitau, kuganti line, oa nya ilang:(

    BalasHapus
  3. Ceritanya sederhana. Tapi nyentuh banget d uraikan dalam kata. Gila, keren bnget. ๐Ÿ˜๐Ÿ˜๐Ÿ˜

    BalasHapus
  4. KACAWWWW PARAHHHHH๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ BAGUS BATS PLS❤️

    BalasHapus
  5. @hewdyt ayo kita kirim ke masing masing

    BalasHapus
  6. Baguss parahh๐Ÿ˜ญ❤️❤️

    BalasHapus
  7. Yatuhan adem banget tulisannya ❤

    BalasHapus
  8. ini parah si๐Ÿ˜ญ๐Ÿ”ฅ

    BalasHapus
  9. Gilaaaa bagus banget!!! ๐Ÿ’›

    BalasHapus